Minggu, 29 Januari 2017

Tiga Gadis Belia

Tiga Gadis Belia

BandarQ

Namaku Marcel dan tentunya bukan nama asliku. Aku adalah pria yang kurang beruntung, karena sudah dua kali ingin berniat untuk berkeluarga dan dua-duanya gagal. Aku berasal dari Indonesia, tapi sudah lama sekali tinggal di Korea. “Gingseng”. Dan atas saran teman-teman, maka aku mensponsori seorang cewek dari Indonesia dengan niat untuk menikah. Tapi setelah wanita itu mendapatkan izin tinggal tetap di negeri ini, wanita itu meninggalkan aku.

Begitu juga dengan yang kedua, yang berasal dari Amerika Latin. Nah, karena rumah yang kumiliki ini mempunyai dua kamar dan karena aku hanya tinggal sendiri sekaligus sudah kapok untuk mencari pasangan lagi, maka kamar yang satunya aku sewakan pada seorang pelajar (cowok) dari Jepang.

Namanya Gamhashira. Gamha yang playboy ini sudah dua hari pulang ke negerinya untuk berlibur setelah menamatkan SMA-nya. Pada suatu sore di hari libur (liburan dari kerja) aku buang waktu dengan main internet, lebih kurang satu setengah jam bermain internet, tiba-tiba terdengar suara bel. Setengah kesal aku hampiri juga pintu rumahku, dan setelah aku mengintip dari lubang kecil di pintu, kulihat tiga orang gadis.

Kemudian kubuka pintu dan bertanya (maaf langsung aku terjemahkan saja ke bahasa Indonesia semua percakapan kami),

“Bisa saya bantu?” kataku kepada mereka.

“Maaf, kami sangat mengganggu, kami mencari Gamha dan sudah satu jam lebih kami coba untuk telepon tapi kedengarannya sibuk terus, maka kami langsung saja datang.” Yang berwajah Jepang nyerocos seperti kereta express di negerinya.

“Oh, soalnya saya lagi main internet, maklumlah soalnya hanya satu sambungan saja telepon saya,” jawabku.

“Memangnya kalian tidak tahu kalau si Gamha sedang pulang kampung dua hari yang lalu?” lanjutku lagi. Kali ini yang bule berambut sebahu dengan kesal menjawab,

“Kurang ajar si Gamha, katanya bulan depan pulangnya, Jepang sialan tuh!”

“Eh! Kesel sih boleh, tapi jangan bilang Jepang sialan dong. Gua tersinggung nih,” yang berwajah
Jepang protes.

“Sudahlah, memang belum rejeki kita dijajanin sama si Gamha,” sekarang bule bermata biru
nyeletus.

Dengan setengah bingung karena tidak mengerti persoalannya, kupersilakan mereka untuk masuk.
Mulanya mereka ragu-ragu, akhirnya mereka masuk juga.

“Iya deh, sekalian numpang minum,” kata bule yang berambut panjang masih kedengaran kesalnya. Setelah mereka duduk, kami memperkenalkan nama kami masing-masing.

“Nama saya Marcel,” kataku.

“Vira,” kata yang berwajah Jepang (dan memang orang Jepang). Yang berambut panjang menyusul, 

“Ely,” (Campuran Italia dengan Inggris).

“Saya Eva,” gadis bermata biru ini asal Jerman.

“Marcel, kamu berasal dari mana?” lanjutnya.

“Jakarta, Indonesia,” jawabku sambil menuju ke lemari es untuk mengambilkan minuman sesuai permintaan mereka. Sekembalinya saya ke ruang tamu dimana mereka duduk, ternyata si Vira dan Eva sudah berada di ruang komputer saya, yang memang bersebelahan dengan ruang tamu dan tidak dibatasi apa-apa.

“Aduh, panas sekali nich?!” si Ely ngedumel sambil membuka kemeja luarnya. Memang di awal bulan Desember lalu, Korea ini sedang panas-panasnya. Aku tertegun sejenak, karena bersamaan dengan aku meletakkan minuman di atas meja, Ely sudah melepaskan kancing terakhirnya. Sehingga dengan jelas dapat kulihat bagian atas bukit putih bersih menyembul, walaupun masih terhalangi kaos bagian bawahnya.

Tapi membuatku sedikit menelan ludah. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara si Eva,

“Marcel, boleh kami main internetnya?”

“Silakan,” jawabku. Aku tidak keberatan karena aku membayar untuk yang tidak terbatas penggunaannya.

“Mau nge-chat yah?” tanyaku sambil tersenyum pada si Ely.

“Ah, paling-paling mau lihat gambar gituan,” lanjut Ely lagi. “Eh, kaliankan masih di bawah umur?” kataku mencoba untuk protes.

“Paling umur kalian 17 tahun kan?” sambungku lagi. Vira menyambut, “Tahun ini kami sudah 18 tahun. Hanya tinggal beberapa bulan saja.” Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Baru saja aku ngobrol dengan si Ely, si Eva datang lagi menanyakan, apa saya tahu site-nya gambar “gituan” yang gratis. Lalu sambil tersenyum saya hampiri komputer, kemudian saya ketikkan salah satu situs seks anak belasan tahun gratis kesukaanku.

Karena waktu mengetik sambil berdiri dan si Vira duduk di kursi meja komputer, maka dapat kulihat dengan jelas ke bawah bukitnya si Vira yang lebih putih dari punyanya si Ely. Barangku terasa berdenyut. Setengah kencang. Setelah gambar keluar, yang terpampang adalah seorang negro sedang mencoba memasuki barang besarnya ke lubang kecil milik gadis belasan.

Sedangkan mulut gadis itu sudah penuh dengan barang laki-laki putih yang tak kalah besar barangnya dengan barang si negro itu. Terasa barangku kini benar-benar kencang karena nafsu dengan keadaan. Si Ely menghampiri kami berada, karena si Eva dan Vira tertawa terbahak-bahak melihat gambar itu. 


Aku mencoba menghindar dari situ, tapi tanpa sengaja sikut Vira tersentuh barangku yang hanya tertutup celana sport tipis. Baru tiga langkah aku menghindar dari situ, kudengar suara tawa mereka
bertambah kencang, langsung aku menoleh dan bertanya,

“Ada apa?” Eva menjawab, “Vira bilang, sikutnya terbentur barangmu,” katanya. Aku benar-benar malu dibuatnya. Tapi dengan tersenyum aku menjawab,

“Memangnya kenapa, kan wajar kalau saya merasa terangsang dengan gambar itu. Itu berarti aku normal.” Kulihat lagi mereka berbisik, kemudian mereka menghampiriku yang sedang mencoba untuk membetulkan letak barangku. Si Eva bertanya padaku sambil tersipu,

“Marcel, boleh nggak kalau kami lihat barangmu?” Aku tersentak dengan pertanyaan itu.

“Kalian ini gila yah, nanti aku bisa masuk penjara karena dikira memperkosa anak di bawah umur.” (Di negeri ini di bawah 18 tahun masih dianggap bawah umur).

“Kan tidak ada yang tahu, lagi pula kami tidak akan menceritakan pada siapa-siapa, sungguh kami janji,” si Ely mewakili mereka.

“Please Marcel!” sambungnya. “Oke, tapi jangan diketawain yah!” ancamku sambil tersenyum nafsu. Dengan cepat kuturunkan celana sport-ku dan dengan galak barangku mencuat dari bawah ke atas dengan sangat menantang. Lalu segera terdengar suara terpekik pendek hampir berbarengan.

“Gila gede banget!” kata mereka hampir berbarengan lagi.

“Nah! Sekarang apa lagi?” tanyaku. Tanpa menjawab Vira dan Emily menghampiriku, sedangkan Eva masih berdiri tertegun memandang barangku sambil tangan kanannya menutup mulutnya sedangkan tangan kirinya mendekap selangkangannya.

“Boleh kupegang Marcel?” tanya Vira sambil jari telunjuknya menyentuh kepala barangku tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya bisa menjawab,

“Uuuh…” karena geli dan nikmat oleh sentuhannya. Sedang Eva masih saja mematung, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang mulai meraih-raih sesuatu di selangkangannya. Lain dengan Ely yang sedang mencoba menggenggam barangku, dan aku merasa sedikit sakit karena Ely memaksakan jari tengahnya untuk bertemu dengan ibu jarinya.

Tiba-tiba Ely, hentikan kegiatannya dan bertanya padaku, “Kamu punya film biru Cel?” Sambil terbata-bata kusuruh Eva untuk membuka laci di bawah TV-ku dan minta Eva lagi untuk masukan saja langsung ke video. Waktu mulai diputar gambarnya bukan lagi dari awal, tapi sudah di pertengahan. Yang tampak adalah seorang laki-laki 60 tahun sedang dihisap barangnya oleh gadis belasan tahun.

Kontan saja si Eva menghisap jarinya yang tadinya dipakai untuk menutup mulut sedangkan jari tangan kirinya masih kembali ke tugasnya. Pandanganku sayup, dan terasa benda lembut menyapu kepala barangku dan benda lembut lainnya menyapu bijiku. Aku mencoba untuk melihat ke bawah,
ternyata lidah Vira di bagian kepala dan lidah Ely di bagian bijiku.

“Uuh… ssshh… uuuhh… ssshhh…” aku merasa nikmat. Kupanggil Eva ke sampingku dan kubuka dengan tergesa-gesa kaos dan BH-nya. Tanpa sabar kuhisap putingnya dan segera terdengar nafas Eva memburu.

“Marcel… ooohh… Cel… terusss… ooohhh…” nikmat Eva terdengar. Kemudian terasa setengah barangku memasuki lubang hangat, ternyata mulut Vira sudah melakukan tugasnya walaupun tidak masuk semua tapi dipaksakan olehnya.

“Slep… slep… chk… chk…” Itulah yang terdengar paduan suara antara barangku dan mulut Vira. Ely masih saja menjilat-jilat bijiku. Dengan kasar Eva menarik kepalaku untuk kembali ke putingnya. Kurasakan nikmat tak ketulungan. Kuraih bahu Ely untuk bangun dan menyuruhnya untuk berbaring di tempat duduk panjang. Setelah kubuka semua penghalang kemaluannya langsung kubuka lebar kakinya dan wajahku tertanam di selangkangannya.

“Aaahhh… Cel… aaahhh… enak Cel… teruskan… aaahhh… terussss Marcel!” jerit Ely. Ternyata Eva sudah bugil, tangannya dengan gemetar menarik tanganku ke arah barangnya. Aku tahu maksudnya, maka langsung saja kumainkan jari tengahku untuk mengorek-ngorek biji kecil di atas lubang nikmatnya. Terasa basah barang Eva, terasa menggigil barang Eva.

“Aaaahhh…” Eva sampai puncaknya. Aku pun mulai merasa menggigil dan barangku terasa semakin kencang di mulut Vira, sedangkan mulutku belepotan di depan barang Ely, karena Ely tanpa berteriak sudah menumpahkan cairan nikmatnya. Aku tak tahan lagi, aku tak tahan lagi,

“Aahhh…” Sambil meninggalkan barang Ely, kutarik kepala Vira dan menekannya ke arah barangku. Terdengar,

“Heeerrkk…” Rupanya Vira ketelak oleh barangku dan mencoba untuk melepaskan barangku dari mulutnya, tapi terlambat cairan kentalku tersemprot ke tenggorokannya. Kepalanya menggeleng-geleng dan tangannya mencubit tanganku yang sedang menekan kepalanya ke arah barangku. Akhirnya gelengannya melemah Vira malah memaju mundurkan kepalanya terhadap barangku. Aku
merasa nikmat dan ngilu sekali,

“Sudah… sudah… aku ngiluuu… sudah…” pintaku. Tapi Vira masih saja melakukannya. Kakiku gemetar, gemetar sekali. Akhirnya kuangkat kepala Vira, kutatap wajahnya yang berlumuran dengan cairanku. Vira menatapku sendu, sendu sekali dan kudengar suara lembut dari bibirnya,

“I Love you, Marcel!” aku tak menjawab. Apa yang harus kujawab! Hanya kukecup lembut keningnya dan berkata,

“Thank you Vira!” Rasa nikmatku hilang seketika, aku tak bernafsu lagi walaupun kulihat Eva sedang memainkan klitorisnya dengan jarinya dan Ely yang ternganga memandang ke arahku dan Vira. Mungkin Ely mendengar apa yang telah diucapkan oleh Vira.

Demikianlah, kejadian demi kejadian terus berlangsung antara kami. Kadang hanya aku dengan salah satu dari mereka, kadang mereka berdua saja denganku. Aku masih memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Vira.

Umurku lebih 10 tahun darinya. Dan sekarang Vira lebih sering meneleponku di rumah maupun di tempat kerjaku. Hanya untuk mendengar jawabanku atas cintanya. Dan belakangan aku dengar Eva dan Ely sudah jarang bergaul dengan Vira.

TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar